Para
penentang Islam Nusantara tidak hanya berasal dari luar NU melainkan
juga dari internal NU sendiri. Dari luar NU, suara-suara sumbang yang
menentang Islam Nusantara berasal dari oknum-oknum yang afiliasi
organisasinya masih relatif kecil dan terbatas. Dari internal NU,
beberapa warga NU seperti yang tergabung dalam “NU Garis Lurus”
terang-terangan menolak gagasan Islam Nusantara. Bahkan mereka menuduh
gagasan ini telah terkontaminasi oleh liberalisme dan sektarianisme
Islam yang bisa membahayakan perjalanan NU ke depan.
Melihat resistensi yang sangat kuat baik
dari dalam maupun dari luar NU, Islam Nusantara menghadapi tantangan
yang cukup besar kedepannya. Jika Islam Nusantara diajukan oleh
organisasi Islam yang masih kecil, sangat mungkin Islam Nusantara hanya
tinggal sejarah. Gagasan Islam Nusantara yang mengedepankan Islam yang
ramah dan tidak pemarah masih ada sampai sekarang karena diajukan oleh
Nahdlatul Ulama (NU) yang notabene adalah organisasi Islam terbesar di
Indonesia. (Baca Nusantara dalam Rangkulan Islam)
Terlepas dari
kontroversi yang ada, keputusan PBNU untuk meneguhkan Islam Nusantara
sudah benar meskipun terbilang agak terlambat. Hal ini didasarkan pada
kenyataan bahwa radikalisme agama terutama yang melibatkan umat Islam di
Indonesia sudah sering terjadi dan cenderung semakin eskalatif. Jika di
awal era Reformasi, konsentrasi radikalisme agama sering terjadi di
daerah-daerah yang didominasi oleh kelompok Islam garis keras, beberapa
tahun terakhir eskalasi radikalisme sudah menjalar ke basis wilayah NU.
Kerusuhan Sampang, Pasuruan dan Jember yang menjadi basis NU menjadi
salah satu indikasi pentingnya meneguhkan kembali bahwa NU sangat
menjunjung tinggi toleransi dan menghargai perbedaan.
Meneguhkan Islam Nusantara menjadi
penting karena selama ini ruang-ruang publik sudah dipenuhi oleh Islam
radikal yang lebih menonjolkan kekerasan daripada mendahulukan rasa
persaudaraan. Tak bisa dipungkiri mereka juga menyusup ke kalangan NU
arus bawah sehingga infiltrasi paham radikal ini juga beberapa kali
menyebabkan benturan di internal NU. Kondisi ini tentu juga menjadi
menjadi tantangan besar bagi PBNU untuk mengimplementasikan gagasan
Islam Nusantara di kalangan warga Nahdliyin.
Pada dasarnya, gagasan Islam Nusantara
ini juga bisa dimaknai sebagai usaha dari NU untuk merevisi dikotomi
Islam tradisionalis yang selama ini masih melekat di NU. Memang hingga
sekarang masih banyak di kalangan NU yang mengatakan pintu ijtihad sudah tertutup rapat. Bahkan kelompok ini seringkali menggunakan yurisprudensi Islam (fiqh) untuk melawan gagasan Islam yang toleran. Mereka beralasan harus menggunakan fiqh
karena pemikiran manusia sangat terbatas dalam menafsirkan wahyu
sehingga membutuhkan ulama untuk menerjemahkan kalam-kalam ilahi
tersebut. Sayangnya hingga kini, fiqh yang dipilih cenderung
keras dan kaku. Pada akhirnya Islam diposisikan seolah-olah sebagai
agama yang keras dalam menghadapi perbedaan.
Beberapa cendekiawan NU seperti Gus Dur, KH Said Aqil, Alwi Shihab dan beberapa ulama NU lain sebenarnya sudah melakukan ijithad
untuk membumikan Islam di Nusantara. Gus Dur beberapa kali menegaskan
bahwa umat Islam di Indonesia harus menerapkan Islam Nusantara untuk
mengakomodir budaya tanpa merusak ajaran Islam. Semua umat Islam setuju
bahwa aqidah tidak mengenal perubahan namun yursprudensi atau
tafsir yang berasal dari Syariah yang menyangkut hubungan antar manusia
harus selalu berubah karena masyarakat mengalami perubahan dari waktu ke
waktu. (Baca Ketum PBNU KH Aqil Siradj : Islam Nusantara Bukan Mazhab)
Sebenarnya, mengakomodir budaya lokal
sudah lama dilakukan oleh para pemimpin Islam sejak lama. Contohnya di
era Islam pertama kali masuk ke Mesir, Sahabat Amr ibn Ash r.a.
mengijinkan warga Mesir untuk menerapkan hukum mereka sendiri kecuali
ritual mengorbankan perempuan di Sungai Nil untuk meminta hujan.
Penguasa Islam Moghul di India juga mengijinkan umat Hindu India untuk
menerapkan hukum mereka sendiri kecuali ritual Sati, yakni
membakar janda yang menikah lagi. Beberapa contoh tersebut menegaskan
bahwa Islam diturunkan ke dunia untuk meningkatkan moralitas dan
martabat manusia. (Baca Islam Nusantara Ijtihad Tatbiqi Bukan Merubah Wahyu)
Di Indonesia, ijtihad beberapa
warga NU bisa dilihat dari penolakan mereka terhadap fatwa yang
mengharamkan umat Islam untuk memilih presiden perempuan pada pemilu
tahun 2004. Selain karena fatwa ini bertentangan dengan persamaan
derajat perempuan dan laki-laki yang sudah ada di masyarakat Indonesia,
fatwa tersebut juga bertentangan dengan yurisprudensi Islam. Pendapat
ini didasarkan pada sejarah Perang Unta dimana Aisyah r.a. memimpin para
prajurit laki-laki selama peperangan.
Di dalam kasus Minoritas Islam, warga NU
masih belum sepenuhnya satu suara. Kelompok pertama adalah NU
konservatif. Kelompok ini sangat keras terhadap kelompok Islam yang
memiliki penafsiran berbeda. Bahkan mereka mengklaim dimensi hak
beragama yang ada di instrumen hukum sekuler tidak bisa diterapkan di
Indonesia yang menganut konsep negara religius. Menurut kelompok ini,
mengimplementasikan hak beragama versi Barat sama halnya merusak ajaran
agama. Bahkan tak segan mereka juga menuduh para cendekiawan NU yang
membela minoritas Islam telah menyimpang dari ajaran NU dan bahkan
Islam.
Kelompok kedua adalah NU moderat.
Setelah meninggalnya Gus Dur, KH Said Aqil bisa dikategorikan sebagai
pemikir moderat NU yang membela Islam minoritas. Kelompok moderat ingin
menegaskan bahwa Islam harus dimaknai sebagai kata kerja, bukan kata
benda yang mati, sehingga bisa menjawab perubahan jaman termasuk problem
sosial dan hak asasi manusia.
Jika melihat dinamika di internal NU
yang masih belum satu suara dalam beberapa hal, usaha untuk meneguhkan
Islam Nusantara harus dimulai dari internal NU sendiri. Kalangan NU
moderat harus bisa meyakinkan kalangan NU konservatif bahwa Islam harus
mampu menjawab persoalan kemanusian termasuk perlindungan Islam
minoritias. (Baca PBNU : Islam Nusantara Benteng Kaum Minoritas)
Semangat Islam Nusantara menjadi penting
karena hingga sekarang pemerintah Indonesia dan mayoritas umat Islam di
Indonesia masih mengedepankan monopoli suatu tafsir tertentu dalam
menghadapi perbedaan didalam Islam. Konsekuensinya, tidak ada ruang bagi
minoritas Islam untuk berkembang dan mendapatkan hak-hak yang sama
dengan Islam minoritas. Jika mereka memaksa untuk mendapatkan hak-hak
beragamanya, pemerintah atas desakan Islam mayoritas akan melarang
perkembangan Islam minoritas karena hal itu dianggap bisa mengancam
kerukunan beragama dan merusak ajaran Islam. (ISNU/Al-Khanif*)
- Penulis : Al Khanif, Mahasiswa Doktoral Ilmu Hukum di School of Oriental and African Studies, University of London
0 komentar:
Posting Komentar