Senin, 31 Agustus 2015

Nusantara adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kepulauan Indonesia yang merentang di wilayah tropis dari Sumatra di bagian barat sampai Papua di bagian timur. Inilah wilayah yang tercirikan dengan keanekaragaman geografis, biologis, etnis, bahasa, dan budaya.
nusantaraKata “nusantara” pertama kali muncul dalam susastra Jawa di abad ke 14 M, yang merujuk pada rangkaian pulau-pulau yang menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Kata “nusantara” sendiri adalah kata benda majemuk yang berasal dari bahasa Jawa Kuna : nusa (pulau) dan antara (terletak di seberang). Dalam kitab “Negarakertagama” yang ditulis sekitar tahun 1365 M, Empu Prapanca – seorang penulis sekaligus pendeta Budhha – menggambarkan wilayah penyusun Nusantara, dengan memasukkan sebagian besar pulau-pulau dalam wilayah Indonesia modern (Sumatra, Jawa, Bali, Kepulauan Sunda Kecil, Kalimantan, Sulawesi, sebagian dari Maluku dan Papua Barat), ditambah wilayah lain yang cukup luas yang saat ini menjadi daerah kekuasaan Malaisya, Singapura, Brunei, dan bagian selatan Filipina. Pada 2010, menurut data Biro Pusat Statistik, wilayah Indonesia sekarang terdiri dari 1.340 kelompok etnik, dengan 2.500 bahasa dan dialek yang berbeda.
Semboyan Indonesia – Bhinneka Tunggal Ika – juga pertama kali digunakan saat masa keemasan Majapahit. Bhinneka berarti “berbeda” atau “beranekaragam”. Kata “neka” dalam bahasa Sansekerta (seperti halnya kata Latin “genus) berarti “jenis”, dan menjadi akar kata dari kata “aneka” dalam Bahasa Indonesia yang bermakna “keragaman”. Tunggal berarti satu. Ika berarti “itu”. Dus, Bhinneka Tunggal Ika secara harfiyah berarti “Berbeda-beda tetapi Tetap Satu jua.” Dalam konteks Indonesia modern, implikasinya meskipun terdapat beragam perbedaan suku, bahasa, budaya, letak geografis dan agama, rakyat Indonesia adalah masyarakat yang satu, sebuah bangsa yang satu – Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemaknaan semboyan ini semestinya memiliki daya lebih meluas dan universal daripada yang nampak sekilas. Faktanya, baik konsep, preseden sejarah maupun realitas spiritual dari Bhinneka Tunggal Ika dapat menjadi model untuk kerukunan antar peradaban yang sebenarnya, juga mampu untuk mengatasi berbagai bahaya yang mengancam kemanusiaan dewasa ini. Di antara bahaya-bahaya terseebut, tentu saja, adalah ISIS (Islamic State of Iraq and Syria).
Frasa Bhinneka Tunggal Ika pertama kali muncul dalam kakawin Jawa Kuna, yakni “Kakawin Sutasoma.” Kitab susastra yang ditulis pada abad ke 14 oleh Mpu Tantular ini menganjurkan kesepahaman dan toleransi antara penganut Buddha dan Hindu Shiwa?. Frasa ini dapat ditemukan di bab ke 139, baris? ke lima :
RwÄneka dhÄtu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangkang Jinatwa kalawan Åšiwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa
Dikisahkan  bahwa Buddha dan Shiva adalah dua substansi (atau entitas) yang berbeda. Keduanya memang berbeda, namun mustahil untuk menyatakan bahwa keduanya berbeda secara mendasar (karena keduanya meyakini adanya Sang Hyang Tunggal).
Sebab esensi (kebenaran) dair Buddha dan esensi (kebenaran) Shiwa adalah Dia Yang Esa (tunggal). Ragam bentuk semesta memang berbeda-beda, namun tetap Satu.
Karena Kebenaran tidak terbagi/mendua ?
Penting untuk dicatat, kemegahan peradaban di kepulauan Hindia Timur (Nusantara) tidaklah dimulai dari kerajaan Majapahit. Bukti-bukti arkeologis serta catatan sejarah lainnya menunjukkan sistem sosio-kultural yang kompleks juga telah berkembang di Nusantara sejak abad ketiga masehi. Dan jauh sebelumnya, relasi ekonomi serta budaya juga telah terbentuk antara penduduk Nusantara dengan masyarakat manca, khususnya India dan Cina. Boom ekonomi yang dirangsang oleh perdagangan jalur laut telah ada semenjak abad pertama masehi (Paul Michael Munoz, 2006), buktinya telah ditemukan banyak sekali koin emas dari masa Romawi Kuno di Nusantara, sebagai tanda perdagangan yang begitu marak saat itu.
Islam NusantaraKarena heterogenitas etnik, bahasa, dan kultur dalam wilayah ini, serta dinamika interaksi antara pelbagai kelompok yang berbeda, masyarakat Nusantara secara alami mengembangkan pandangan dunia yang pluralistik. Pengaruh budaya dan agama dari wilayah mancanegara secara cepat diserap oleh budaya Nusantara yang memang sangat adaptif dan “ramah.” Karenanya, pengamatan Mpu Tantular menyangkut asas Bhinneka Tunggal Ika tidaklah berasal dari ruang hampa. Asas ini menggambarkan kearifan kolektif Nusantara, yang telah berkembang selama berabad-abad dan telah mengakar dalam kultur wilayah geografis yang mengalami silangbudaya dari berbagai peradaban kuno di dunia.
Nilai dari satu kuatrin puisi dalam “Kakawin Sutasoma” sebagaimana dikutip di atas adalah kemampuannya untuk merangkum – sekaligus membantu kita untuk memahami – pandangan dunia yang diyakini oleh peradaban Nusantara secara keseluruhan, yang menjadi dasar bagi pluralisme agama dan toleransi di dalamnya. Bagian puisi ersebut menunjukkan, alam semesta memang berasal dari satu sumber tunggal yang menjadi sumber “esensi spiritual” dalam semua hal. Dalam perspektif ini, bermacam budaya dan agama yang secara sepintas nampak berbeda sebetulnya layaknya beragam warna cahaya yang dibiaskan oleh sebuah prisma, yang bersumber dari cahaya yang tunggal.
Pandangan dunia yang amat bernapas spiritual wajarlah jikalau muncul dalam masyarakat Nusantara. Keragaman kultural serta bahasa yang hadir di wilayah kepulauan Hindia Timur, sangat tidak mungkin menciptakan, apalagi memaksakan, keseragaman kultur, bahasa dan/atau agama dalam wilayah dunia yang lain. Penduduk Nusantara kemudian mengambil simpulan, mereka mesti menerima keragaman ini, sebentuk keragaman yang mesti mereka hadapai dari hari ke hari, dan juga terus berusaha mengasah kemampuan mereka untuk menjaga perdamaian dengan oranglain. Walhasil, mereka memandang bahwa perbedaan budaya dan agama adalah perkara yang niscaya, lalu mereka mengembangkan sebuah peradaban yang menekankan bahwa pencapaian harmoni adalah cara yang paling sangkil untuk menjaga kerukunan dalam lingkungan budaya dan sosial yang kompleks.
Masuknya Islam
Dari abad ke 7 sampai ke 10 M, Islam telah mengakar di kawasan Timur Tengah, juga di kawasan yang membentang dari Spanyol sampai Maroko hingga di kawasan timur India. Islam melahirkan peradaban baru serta karya-karya brilian. Kawasan-kawasan tersebut mengalami proses islamisasi secara bertahap, tentunya Arabisasi pula, di kawasan Mediterania timur, Mesopotamia dan pantai timur Afrika, sebagai hasil dari penaklukan para penguasa Islam.
Dengan kata lain, penaklukan militer menjadi prasyarat esensial, serta pemantik, bagi perkembangan perdaban Islam klasik. Secara cepat Islam meraih supremasi militer dan politik di kawasan Timur Tengah, yang memungkinkan penguasa Muslim untuk menegakkan hukum serta mengatur masyarakat sesuai dengan doktrin dan dogma agama. Atmosfer inilah yang tepatnya membuat ajaran-ajaran klasik (ie. interpretasi agama) Islam berkembang pesat, termasuk di dalamnya aqidah (sistem doktrin dalam Islam yang terkait dengan Ketuhanan); fiqh (serangkaian sistem yurisprudensi klasik Islam); dan tasawwuf (mistisisme dalam Islam, sebagai cara untuk menjelajahi dimensi-dimensi spritiual kehidupan).
Meskipun interpretasi kaum Muslim atas doktrin, dogma, hukum, dan spritualitas sangat beragam; penguasa Muslim (ie.para penakluk) memiliki tanggungjawab untuk menegakkan hukum, yang pada gilirannya membentuk lembaga yang memiliki kekuasaan untuk membuat keseragaman dalam ranah doktrin dan hukum agama, setidaknya dalam parameter “yang dapat diterima.” Karena alasan yang murni politik, pertanyaan tentang “otentisitas” agama menjadi tema perdebatan sengit yang sering terjadi antara berbagai mazhab (ie.interpretasi) Islam. Dalam situasi seperti inilah, sangat tidak mengejutkan jikalau fiqh (seringkali dipadankan dengan Syariat) mendominasi diskursus ini, karena posisi sentralnya untuk penegakan hukum serta penataan relasi antara pelbagai anggota masyarakat.
Bagaimana dengan Nusantara?
Karena miskinnya catatan sejarah saat ini, tidak ada penjelasan yang meyakinkan atas waktu yang pasti dalam proses masuknya Islam di Nusantara. Beberapa catatan sejarah mengisyaratkan bahwa kerajaan Islam telah berdiri di Nusantara pada akhir abad ke 13 sampai abad ke 15 M (termasuk kerajaan Jeumpa, Tambayung, dan Malaka), sebelum proses Islamisasi mendapatkan momentum pentingya di Jawa yakni saat berdirinya Kesultanan Demak.
Sebagai catatan, hampir semua pakar sejarah sepakat bahwa penyebaran Islam di Nusantara melalui proses yang “difusif” dan “adaptif”, dan sebagian besar sangat menghindari metode penaklukan militer. Sebagaimana Hinduisme dan Budhhisme sebelumnya, Islam “menyatu” dan secara bertahap diserap menjadi budaya lokal yang unggul di Nusantara.
Dalam pembedaan yang kontras dengan pelbagai wilayah Islam lain di dunia (dari Spanyol sampai India), tidak ada catatan bahwa fiqh diaplikasikan sebagai sistem legal yang komprehensif di dalam kerajaan-kerajaan di Nusantara. Penyelesaian masalah-masalah hukum (baik pidana maupun perdata) secara umum ditangani melalui hukum lokal atau hukum adat, yang berbeda-berda di tiap wilayah. Sebagai misal, sampai saat ini masyarakat Minangkabau di Sumatra Selatan tetap menganut sistem matrilineal, yang sangat bertentangan dengan sistem patrilineal yang digunakan dalam fiqh mainstream untuk masalah hukum waris. Namun, penerapan hukum adat Minangkabau ini, secara halus dan taksadar, disertai dengan identifikasi diri yang kuat terhadap Islam pada masyarakat Minangkabau secara keseluruhan. Memang, seiring berjalannya waktu hukum adat di seluruh Nusantara telah berbaur, atau diwarnai, oleh pengaruh Islam. Akan tetapi, tetap saja tidak ada penerapan yang sistematis dan komprehensif atas “hukum Islam”,sebagaimana dalam definisi diskursus Islam klasik, dalam kehidupan publik.
Dengan kata lain, Islam dipaksa untuk “menyerah” pada hukum – serta kekuasaan—lokal di Nusantara dengan peradabannya yang sangat pluralistik. Contoh lainnya, masih dari Sumatra Barat, hukum waris dalam Islam yang menguntungkan pihak laki-laki,  tersubordinasikan – atau paling tidak dikompromikan – dengan hukum adat Minang, di mana tanah serta rumah  yang diwariskan melalui garis matrilineal. Islam kemudian mengalami pelenturan dari “disiplin asli”nya. Akan halnya di Jawa, berbagai ritual tradisional diadopsi sebagai “bagian dari Islam” setelah disesuaikan sedikit atau banyak melalui proses asimilasi yang panjang.
Islam yang Terus Belajar
Di kawasan yang didominasi oleh “Islam klasik” – Timur Tengah, Afrika Utara, Persia, dan kawasan Turki serta beberapa wilayah Asia – Islam datang sebagai “hakim” dengan menguasai, menegakkan hukum dan menenyelasaikan persengketaan. Di Nusantara, Islam datang sebagai tamu yang pada gilirannya menjadi bagian dari keluarga. Karena itulah Islam Nusantara menunjukkan karakter yang berbeda, tidak seperti Islam yang muncul di wilayah dunia Muslim lainnya.
Di Timur Tengah misalnya, Islam secara umum dipandang sebagai sistem sosio-religio-politik yang “lengkap”, “final” dan otoritatif, yang tidak memberikan pilihan lain selain menaati aturan konstruksi final tersebut. Di sisi lain, Islam di Nusantara selalu dalam kondisi belajar terus-menerus. Lebih dari 600 tahun, para pemuka agama Nusantara secara berhati-hati mempelajari realitas sosial demi memastikan cara paling elegan untuk mencapai tujuan mereka sembari menjaga harmoni dalam masyarakat yang amat plularistik di sini.
Meskipun Islam Nusantara berbeda dengan model Islam di Timur Tengah, ini bukan berarti ia membikin semacam bid’ah. Ulama kenamaan dan para pemimpin Islam di Hindia Timur pun sangat berhati-hati dan waspada dalam memastikan bahwa cara mereka mempraktikkan dan menyebarkan Islam segaris dengan ajaran fundamental dalam Islam; cara tersebut mengikuti tradisi intelektual serta menjaga mata-rantai ikatan keilmuan dengan Islam klasik, serta berakar pada ajaran Islam para mujtahid (para pemimpin mazhab Islam) yang otoritatif dari generasi awal yang hidup di kawasan Timur Tengah.  Dengan kata lain, model Islam Nusantara adalah turunan otentik dari Islam Ahlussunnah wal Jama’ah, yang dijaga dan diajarkan oleh para ulama otoritatif.
Tugas untuk memastikan otentisitas ajaran Islam, sekaligus menjaga harmoni dengan realitas sosial yang ada, tidak pernah mudah. Ulama Nuasantara secara tradisional menerapkan dua prinsip strategis untuk melaksanakan hal ini.
Pertama, memastikan fokus yang berimbang dalam perhatian terhadap dimensi spiritial Islam (tasawwuf), agar semangat utama agama, sebagai sumber dari cinta dan kasih sayang universal, tidak terabaikan saat memberikan keputusan hukum (fatwa)yang berkaitan dengan norma formal dalam hukum Islam.
Ulama Nusantara memperkenalkan mistisisme (tasawuf) dan pelbagai jenis persaudaraan spiritual (tarekat) yang didirikan oleh para ulama pendahulu di Timur Tengah kepada komunitas lokal di seluruh kepulauan Hindia Timur. Ajaran mistisisme Islam ini mendapatkan respon yang hangat dari penduduk lokal dan kemudian menjadi wajah yang mencirikan Islam Nusantara.
Faktanya, mistisisme Islam menjadi penarik utama bagi komunitas lokal Nusantara, karena ajaran ini sejalan dengan tradisi mistik yang mendominasi kawasan ini. Dalam sebuah artikel di Strategic Review yang berjudul “Ide Besar dari Indonesia : Menyelesaikan Perdebatan Global yang Pahit atas Islam” KH. A. Mustofa Bisri dan C. Holland Taylor mendeskripsikan elemen-elemen mistisisme Islam yang telah lama menjadi bagian tak terpisahkan dari orientasi spiritual/warisan budaya Nusantara dan yang membentuk karakter dasar Nusantara.
Dua kutipan pendek ini tepat untuk memberikan ilustrasi bahwa konsep Bhinneka Tunggal Ika dari Mpu Tantular bersifat paralel dengan pandangan dunia dari penyair dan mistikus Islam kenamaan. Mistikus Persia Jalaluddin Rumi (1207-1273) menyatakan:
Perbedaan di antara manusia berasal dari nama; sementara saat engkau mencapai makna maka engkau meraih kedamaian. Wahai inti dari segala yang ada! Adalah karena sudut pandang, maka ada perbedaan antara seorang Muslim, Zoroaster, dan Yahudi. … Setiap nabi dan setiap orang suci memiliki jalannya sendiri, tetapi tiap jalan itu menuju Tuhan; semua jalan itu sesungguhnya adalah satu. Ibnu Arabi (1165-1240), seorang sufi kelahiran Spanyol yang dijuluki sebagai Syaikhul Akbar, Sang Guru Utama, menyampaikan pandangan serupa saat beliau menulis:
Hatiku mampu menjadi berbagai bentuk; hatiku adalah hamparan rumputan bagi para kijang dan tempat peristirahatan bagi para pendeta Kristen, dan kuil bagi para berhala, dan perjalanan ibadah menuju Ka’bah, dan lembar-lembar Taurat, serta kitab Al Qur’an. Aku memeluk agama Cinta, kemana pun sang unta membawaku. Agama dan kepercayaanku adalah agama yang sebenarnya.
Keduanya, Jalaluddin Ruid an Ibnu Arabi, adalah tokoh yang paling otoritatif dalam spriritualitas dan mistisisme Islam.
Jelaslah bahwa pandangan spiritual di atas memberikan “legitimasi dan perlindungan doktrinal” yang tidak hanya memperbolehkan tetapi juga menganjurkan partisipasi umat Islam dalam masyarakat yang sangat pluralistik. Pandangan tersebut juga memberikan ketentraman psikologis serta emosional bagi umat Islam, yang mungkin saja merasa terganggu dengan penolakan golongan lain terhadap dakwah Islam atau keengganan mereka untuk mengadopsi ajaran formal serta ritual dalam Islam. Menurut pemahaman mereka terhadap Islam sebagai “juru selamat,” Ulama Nusantara memandang dakwah sebagai sebuah usaha untuk “menyelamatkan” oranglain, yang hanya akan terjadi jikalau orang tersebut juga bersedia dan rela. Jika mereka tidak bersedia, para pendakwah tidak memiliki tanggungjawab atas keputusan orang tersebut untuk memilih jalan hidup yang lain.
Selanjutnya, strategi kedua adalah menempatkan Islam sebagai penduduk yang setara dalam masyarakat yang sangat plural, alih-alih sebagai penduduk khusus atau pembawa kekerasan, atau sebagai ideologi suprematif. Ulama Nusantara umumnya meyakini bahwa urusan publik semestinya ditangani atas dasar kerelaan semua pihak yang terlibat. Di Nusantara, para pemimpin Islam sangat jarang terbebani oleh ekspektasi atau permintaan untuk menegakkan hukum Islam terhadap pemeluk agama dan keyakinan lain.
Ulama Nusantara secari kreatif mencari “ruang manuver” terkait hukum syariat, agar tetap terlibat secara dekat dengan lingkungan sosial yang lebih luas, tanpa mengabaikan keterikatan dengan, atau praktik dari, syariat itu sendiri. Dalam kasus tradisi Minangkau sebagaimana disebutkan di atas, ulama menerapkan hukuman syariat terkait pembagian warisan sesuai dengan konsensus yang tercapai diantara para ahli waris. Dalam kasus ini, hukum adat yang bertentangan dengan fiqh diposisikan dalam wilayah konsensus.
Pendekatan hukum Islam seperti inilah yang menjadi dasar bagi ulama Nusantara untuk menerima Republik Indonesia yang merupakan negara sekuler dan menolak apa yang seringkali disebut negara Islam atau kekhalifahan. Karena Islam hadir di bumi Nusantara sebagai tamu terhormat, bukannya penakluk, umat Islam secara umum menerima fakta bahwa mereka bukanlah satu-satunya pihak yang ditakdirkan untuk menentukan nasib masyarakat secara keseluruhan. Sistem politik di Nusantara – dan secara khusus relasi antara agama dan negara – secara tradisional telah mencerminkan konsensus di antara para pemegang kepentingan. Bahkan kerajaan Islam seperti Jeumpa, Tambayung dan Mataram pun tercatat sebagai produk konsensus antara pemegang hukum adat, alih-alih sebagai pelembagaan dari “negara Islam.”
Secara umum, dapat dinyatakan bahawa kemampuan ulama Nusantara untuk beradaptasi dengan realitas sosial tanpa mengabaikan kepatuhan mereka terhadap syariat berakar dari fakta bahwa mereka telah menguasai dan mumpuni dalam bidang syariat, tidak hanya syariat dalam arti kumpulan hukum-hukum Islam tetapi sebagai dasar teori hukum. Islam mengajarkan bahwa hukum harus didasarkan pada petunjuk Tuhan.
Akan tetapi, Islam juga mengajarkan bahwa dalam memberikan petunjuk, tujuan Tuhan bukanlah untuk kepentingan-Nya sendiri. Tuhan memberikan petunjuk demi kebaikan manusia. Karena itulah, apapun yang baik untuk kemanusiaan adalah sejalan dengan “tujuan” Tuhan, dan tentunya tujuan syariat itu sendiri.
Pemurnian Ajaran Agama
Apapun asal suku atau wilayahnya, para penakluk (penjajah) biasanya memiliki kekhawatiran dan kecenderungan perilaku yang sama untuk mementingkan kepentingan mereka sendiri. Ciri paling fundamental dari keinginan tersebut adalah dengan menerapkan hukum mereka, dengan berhadapan langsung atau dengan resistensi laten dari mereka yang ditaklukkan. Makanya, sangat logis kalau seorang penakluk cenderung untuk bersikap represif.
Hukum Islam klasik (fiqh) dipenuhi dengan aturan-aturan represif semacam ini. satu dari beberapa contoh dramatis dapat ditemukan dalam kitab “Kifayatul Akhyar” karya Taqiyuddin Abu Bakr bin Muhammad al Husaini al Husni pada abad 14 M. Di antara pelbagai aturan hukum Islam yang dikutip dalam kitab ni adalah perintah eksplisit untuk melakukan diskriminasi terhadap non-Muslim.
Di Nusantara, Islam tidak pernah menanggung beban untuk menerapkan perintah tersebut. Karena tidak adanya penjajah dari mancanegara, maka tidak ada pula ancaman dari agama lain. Karenanya, pada abad 16 M Kesultanan Demak, ketua penasihat agama dari sultan Demak, yaitu Ja’far Sadiq Amatkhan yang terkenal sebagai Sunan Kudus, melarang umat Islam menyembelih sapi dalam wilayah teritorial Kudus (Jawa Tengah), karena penghormatan beliau terhadap kepercayaan agama Hindu akan kesucian binatang tersebut.
Salah satu penyebar awal Islam di Jawa, Raden ‘Ainun Yaqin, yang dikenal sebagai Sunan Giri, adalah tokoh yang amat gigih menerapkan hukum Islam diantara ulama segenerasinya karena kepakarannya dalam syariat. Namun, yang paling diingat dari Sunan Giri adalah, yang tidak akan pernah terlupakan saat membincangkan beliau, ajarannya yang menjadi inskripsi batu nisan beliau di Jawa Timur:
Wenehana mangan marang wong kang luwe.
Wenehana sandangan marang wong kang wuda.
Wenehana payung marang wong kang kudanan.
Wenehana teken marang wong kang wuta.
(Berilah makan pada mereka yang lapar
Berilah pakaian pada mereka yang telanjang
Berilah tempat berteduh pada mereka yang kehujanan
Berilah tongkat pada mereka yang buta)
Secara umum, narasi Islam yang telah lama bertahan di Nusantara diorientasikan lebih kepada ruh, alih-alih teks, dari hukum. Fiqh (Jurisprudensi Islam, sebagai instrumen untuk menjaga keteraturan) tidak dipandang mendesak karena menjaga keteraturan masyarakat bukanlah tantangan paling krusial bagi masyarakat atau para penguasa. Kuatnya dorongan kultural untuk mencapai harmoni berfungsi sebagai fondasi utama, dan penjamin, dari keteraturan dalam masyarakat. Dalam kondisi seperti ini, instrumen hukum yang detail serta canggih tidak diperlukan, begitu pula dengan pemaksaan penegakan hukum tersebut. Kondisi ini memungkinkan para penyebar agama untuk mendalami serta menyelami inti dari ajaran agama, yakni spiritualitas dan etika.
Peradaban yang Harmonis, Agama Kasih Sayang
Selama hampir 2.000 tahun, peradaban Nusantara telah melewati eksperimentasi yang unik serta pengalaman langsung terkait kemampuan manusia untuk hidup secara damai di tengah keragaman. Peradaban Nusantara adalah tentang mementingkan harmoni dengan oranglain, di atas kepentingan pribadi; kepercayaan diri secara spiritual, yang memungkinkan seseorang untuk mengalami serta merangkul ide-ide dan ajaran-ajaran baru; menumbuhkan karakter sederhana, alih-alih hanya mengejar pencapaian materi; juga menyadari bahwa perbedaan pendapat (dan agama) bukanlah perkara yang berbahaya.
Hampir semua agama masuk ke Nusantara tanpa mengalami resistensi. Penduduk Nusantara bebas memeluk agama apapun yang cocok bagi mereka, dan untuk mengabaikan sebuah agama tanpa menyakiti, jikalau mereka menghendakinya. Dan semua orang yang menjadi warga dari kehidupan komunal yang kita alami bersama adalah bagian dari kesatuan yang tak terpecahbelah, apapun perbedaan lahiriah yang mungkin ada: Bhinneka Tunggal Ika.
Dalam peradaban Nusantara, Islam menemukan “surga”-nya. Islam Nusantara tidak dibebani kekhawatiran duniawi semacam pemberontakan atau ancaman internal dan eksternal. Islam Nusantara juga diberkahi kebebasan dari penyalahgunaan sebagai kendaraan dalam sebuah konflik, karena agama Nusantara jarang sekali dijadikan penyebab dari suatu pertikaian. Islam, karena itu, menikmati kemungkinan yang amat luas untuk terlibat dalam dialog yang ramah, dengan realitas sosial dan sejarah.
Dalam atmosfer yang tak terpolitisasi ini, Islam telah membuktikan keberhasilan dalam membumikan ajaran intinya dalam kehidupan masyarakat Nusantara dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain di dunia. Hal ini karena kesediaan Islam Nusantara untuk berempati terhadap “liyan” dan terlibat dalam dialog dengan realitas, alih-alih memaksakan pemahamannya terhadap realitas dengan kekerasan. Keberhasilan Islam Nusantara juga disebabkan oleh keyakinannya bahwa agama mesti digunakan sebagai jalan menuju pencerahan jiwa manusia, dan syariat mesti ditegakkan demi menyangga kebahagiaan manusia alih-alih sebagai alat represif dari kekuasaan. Di Nusantara, Islam memiliki kebebasannya untuk menjalankan perintah Al Qur’an : sebagai sumber cinta dan rahmat bagi seluruh alam.
Dalam masa kita ini, baik peradaban Nusantara dan pelbagai golongan Islam yang telah lama tumbuh sedang mengalami kemunduran. Kondisi ini disebabkan oleh berbagai macam tekanan yang berasal dari globalisasi, termasuk di dalamnya penyebaran berbagai paham Islam yang sarat politik dan penuh gairah untuk memaksa pemahamannya atas Islam. Ingatan yang hendak saya pantik dalam tulisan ini – tentang kemegahan peradaban Nusantara dan ekspresi Islamnya yang unik – layaknya dilihat sebagai permohonan uluran tangan.
Tulisan ini juga semacam pengingat dan tawaran bagi dunia – undangan untuk mengisi kehidupan sosial, budaya, politik, dan agama dengan cinta dan keindahan spiritual. Adalah keagungan cinta dan keindahan yang ada tepat di jantung visi dari kerukunan antar peradaban. Dan itulah yang adalah dalam jangkauan kita, sebuah visi yang mesti kita pilih untuk menjadikannya nyata. (ISNU/Nu.or.id)
Penulis : KH Yahya Cholil Staquf, Rais Syuriyah PBNU

Posted on 23.24 by PC ANSOR TEMANGGUNG

No comments

Sebagai sebuah corak keberagamaan yang bercita-cita untuk menjadi role model kiblat Islam rahmatan lil’alamin di dunia, Islam Nusantara tentu masih sangat memerlukan kritik. Kritik adalah salah sebuah sarana untuk meneguhkan Islam Nusantara secara konseptual. Karena tanpa kritik, kita tidak akan bisa mendeteksi sejauh mana penerimaan masyarakat terhadap term yang mendadak nge-pop akhir-akhir ini.
Islam Nusantara RahmatNamun tampaknya, semakin Islam Nusantara mengudara, betul bahwa ada adagium yang mengatakan semakin tinggi pohon maka semakin kencang angin menerpa, rupanya Islam Nusantara pada perjalanannya bukan cuma diterpa oleh berbagai kritikan, tetapi juga berbagai tanggapan sarkastis dan propaganda negatif sebagai sebuah paham yang dituding sesat dan menyesatkan.
Ironisnya, hal ini bukan hanya berasal dari kalangan yang belum paham atau memang awam mengenal istilah ini. Akan tetapi juga datang dari berbagai tokoh populis seperti Mamah Dedeh –mamahnya ibu-ibu pengajian televisi, Habib Rizieq Shihab – Pucuk Pimpinan Front Pembela Islam (FPI) , Dokter Hamid Fahmi Zarkasyi–maha guru yang menjadi referensi baku kawan-kawan kajian INSISTS, sampai selebritas twitter Hafidz Ary yang mencitrakan diri sebagai murobbi-nya gerakan Indonesia Tanpa JIL.
Tanpa tedeng aling-aling, di depan jamaah pengajian subuh dan disaksikan oleh seluruh pemirsa ANTV suatu pagi, Mamah Dedeh mengatakan “Coret Islam Nusantara” yang secara otomatis statemen beliau tersebut langsung dikutip dan disebar-luaskan oleh media-media yang notabene sempat masuk list BNPT sebagai media “radikal”. Lebih ekstrem lagi, Habib Rizieq tampak niat banget untuk menghantam Islam Nusantara ini hingga beliau meluangkan waktu untuk membuat propaganda di media bahwa JIN (Jemaat Islam Nusantara – istilah yang sesungguhnya beliau bikin sendiri) adalah sebuah gerakan yang harus ditumpas eksistensinya di negeri ini lantaran pahamnya sesat dan menyesatkan, lengkap dengan pointer-pointer yang beliau inventarisir sebagai dalil atau dalih bahwa Islam Nusantara ini memang sesat. Ah yang beneer?
Sebagai sebuah tulisan populer, saya ingin mengajak segenap pembaca untuk terlebih dahulu merenggangkan urat saraf masing-masing sebelum lebih jauh menyimak. Saya hanya ingin menggaransi terlebih dahulu bahwa tulisan ini nantinya tidak akan se-galak artis twitter bernama Hafidz Ary yang dengan serampangan mengatakan bahwa corak Islam Nusantara yang dirintis para ulama dan segenap awliyaa di negeri ini adalah produk rintisan kaum Islam Liberalis. Hafidz semacam melakukan jurus mabuk hingga pura-pura lupa bahwa liberalisme Islam di negeri ini adalah gerakan yang nge-pop belakangan bahkan tergolong impor, atau bahasa kerennya biasa disebut transnasional. Sedangkan Islam Nusantara adalah corak keberagamaan yang telah lama menyatu dengan urat nadi bangsa Indonesia.
Saya juga akan berusaha untuk tidak menjadi se-gegabah ustadz beken bernama Felix Siauw yang mengatakan bahwa “Nasionalisme tidak ada dalam Islam”, lalu kemudian kepleset lidah berfatwa menghalalkan VCD bajakan karena “segala sesuatu di dunia ini milik Allah”, lalu mengharamkan akifitas selfie dan ternyata beliau juga suka selfie, dan yang paling menggelikan adalah mengkampanyekan Hijab Syar’ie ala beliau sendiri hingga kemudian diketahui ternyata beliau juga jualan jilbab. ( Baca  )
Bismillah. Akhi, don’t be amazed too much, jangan latah!, Islam Nusantara bukan paham kok, bukan pula ajaran, apalagi mazhab baru yang mencoba peruntungan untuk numpang tenar di bumi Indonesia ini. Islam Nusantara adalah model keberagamaan yang sejak lama menjadi model dakwahnya para Kyai di Jawa, para Buya di Sumatera, para Tuan Guru di Kalimantan, dan para Gurutta di Sulawesi. Islam Nusantara adalah Islam yang ketika harus berhadapan dengan The Old Establishing Beliefs– seperti Hinduisme di Indonesia, maka dengan lentur tidak menjadikan sapi sebagai hewan kurban karena sapi adalah hewan yang mulia menurut kepercayaan masyarakat Hindu. Para awliyaa kala itu paham bahwa Islam cukup selow dengan memperbolehkan kerbau dan kambing sebagai substitute animal (baca; pemain cadangan) untuk dikurbankan. Dan ini Islami banget, kok. Toh dulu juga al-Qur`an ketika melarang minum khamr juga metodenya bertahap. Awalnya dengan menyatakan bahwa di dalam khamr terdapatitsmun kabiir (dosa besar) dan jugamanaafi’ linnaas(manfaat untuk manusia), hanya saja dosanya lebih besar daripada manfaatnya. Lalu kemudian memrintahkan jangan melaksanakan shalat dalam keadaan mabuk, hingga pada akhirnya baru mengharamkan khamr secara tegas. Metode semacam ini dalam istilah Arab disebut dengan tadriijiyyan, atau step by step.
Islam Nusantara adalah Islam yang mengerti lokalitas sehingga masyarakat Islam Banjar sangat akrab dengan tradisi baaruhan, di Jawa ada tradisi slametan, bahkan muslim yang sudah meninggal dunia pun diurus sampai seratus hariannya dan diperingati setiap tahunnya. Islam Nusantara juga mengerti psikologis masyarakat untuk berkesenian hingga dikenal tradisi maulidan, barzanjian, diba’an, dan lain-lain.
Kesemua contoh di atas adalah ke-khasan tersendiri bagi corak keberislaman di Indonesia, yang jika digali lebih dalam adalah identitas kearifan lokal atau local wisdom itu sendiri. Karena sejatinya identitas inilah yang mahal, identitas ke-Islaman dan ke-Indonesiaan. Maka sudi lah kiranya kita belajar dari Kyai Haji Hasyim Asy’ary yang bertahun-tahun mengaji di Mekkah tapi mind set-nya tidak pernah ter-Arab-kan. Sudi pula lah kiranya kita menengok sejarah Wapres legenda kita Mohammad Hatta yang belajar di Belanda tapi tidak ter-barat-kan. Beliau bahkan masyhur dengan gagasan ekonomi koperasinya, hingga gagasan politik luar negeri Mendayung di atas Dua Karang-nya yang sampai hari ini menjadi khas kebijakan luar negeri Indonesia yang nonblock dan nonafiliate. Dan sejarah menjadi saksi bagaimana beliau tetap hidup Islami dengan sifat qana’ah-nya hingga sampai akhir hayatnya tidak mampu membeli sepatu bermerek Bally.
Terakhir, Islam Nusantara tidak pernah anti Arab seperti yang dituduhkan Habib Rizieq. Tapi Islam itu sendiri bukanlah Arabisme karena memang spiritnya universal. Turun sebagai agama langit (samawi), tapi eksistensinya membumi. Bahkan kalau mau jujur, para ulama, Kyai, dan Tuan Guru itu kurang ngerti Arab apa coba? Dari dulu juga buku-buku wajib di Pesantren adalah kitab-kitab berbahasa Arab. Bukan sekadar gombal dan retoris untuk menjadi Arabissampai urusan ngobrol dan ngopi saja harus menyapa dengan akhi dan ukhti.
Islam Nusantara juga tidak pernah anti-barat, karena prinsip dasarnya adalah memungut hikmah darimana pun sumbernya. Hikmah adalah milik orang Islam yang tercecer. Karenanya, Islam Nusantara sangat menghargai tradisi dan sekaligus juga terbukadengan modernitas. Kaidah fikih populernya; “al muhaafazhah alal qadiim al shaalih, wal akhdzu bil jadiid al ashlah”. Pijakan historis yang kokoh, dan kemampuan merespon masa depan dengan tangkas. Inilah yang disebut dengan prinsip, identitas, dan jati diri. Tak heran kalau kemudian mantan Presiden kita Baharuddin Jusuf habibi yang diketahuilama tinggal di Barat, toh ternyata juga tidak serta merta sepakat dengan tradisi Barat yang individualistis sampai nenek-nenek harus jauh dari cucunya karena ibunya lebih suka menitipkan anaknya di penitipan bayi. Di negara maju, kata Pak Habibi, tak pernah ada istilah ngemong cucu. Dan sebagai Profesor Jenius di bidang teknologi, ternyata ketika beliau ditanya lebih memilih makanan yang diolah oleh Food Processor atau sambal yang di-ulek, dengan tegas beliau memilih yang kedua, karena sambal yang di-ulek oleh wanita Indonesia sungguh tiada duanya. Wallaahul Muwaffiq ilaa aqwatith tariieq.
Penulis : Oleh Khairi Fuady adalah kader muda Nahdhatul Ulama dari Kalimantan Selatan, mahasiswa tingkat akhir Jurusan Ilmu Hubungan Internasional FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Posted on 23.23 by PC ANSOR TEMANGGUNG

No comments

NUsantaraSejak digulirkan beberapa bulan lalu, Islam Nusantara, yang menjadi tema besar muktamar NU ke-33 di Jombang telah memantik kontroversi. Meskipun para penggagas Islam Nusantara sudah menjelaskan bahwa terminologi “Nusantara” tidak dimaksudkan untuk mendirikan mazhab baru didalam Islam, namun tetap saja beberapa kalangan umat Islam menganggap gagasan Islam Nusantara telah menyimpang dari ajaran Islam. (Baca Islam Nusantara Bukan Ajaran, Faham dan Madzhab)
Para penentang Islam Nusantara tidak hanya berasal dari luar NU melainkan juga dari internal NU sendiri. Dari luar NU, suara-suara sumbang yang menentang Islam Nusantara berasal dari oknum-oknum yang afiliasi organisasinya masih relatif kecil dan terbatas.  Dari internal NU, beberapa warga NU seperti yang tergabung dalam “NU Garis Lurus” terang-terangan menolak gagasan Islam Nusantara. Bahkan mereka menuduh gagasan ini telah terkontaminasi oleh liberalisme dan sektarianisme Islam yang bisa membahayakan perjalanan NU ke depan.
Melihat resistensi yang sangat kuat baik dari dalam maupun dari luar NU, Islam Nusantara menghadapi tantangan yang cukup besar kedepannya. Jika Islam Nusantara diajukan oleh organisasi Islam yang masih kecil, sangat mungkin Islam Nusantara hanya tinggal sejarah. Gagasan Islam Nusantara yang mengedepankan Islam yang ramah dan tidak pemarah masih ada sampai sekarang karena diajukan oleh Nahdlatul Ulama (NU) yang notabene adalah organisasi Islam terbesar di Indonesia. (Baca Nusantara dalam Rangkulan Islam)
Terlepas dari kontroversi yang ada, keputusan PBNU untuk meneguhkan Islam Nusantara sudah benar meskipun terbilang agak terlambat. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa radikalisme agama terutama yang melibatkan umat Islam di Indonesia sudah sering terjadi dan cenderung semakin eskalatif. Jika di awal era Reformasi, konsentrasi radikalisme agama sering terjadi di daerah-daerah yang didominasi oleh kelompok Islam garis keras, beberapa tahun terakhir eskalasi radikalisme sudah menjalar ke basis wilayah NU. Kerusuhan Sampang, Pasuruan dan Jember yang menjadi basis NU menjadi salah satu indikasi pentingnya meneguhkan kembali bahwa NU sangat menjunjung tinggi toleransi dan menghargai perbedaan.
Meneguhkan Islam Nusantara menjadi penting karena selama ini ruang-ruang publik sudah dipenuhi oleh Islam radikal yang lebih menonjolkan kekerasan daripada mendahulukan rasa persaudaraan. Tak bisa dipungkiri mereka juga menyusup ke kalangan NU arus bawah sehingga infiltrasi paham radikal ini juga beberapa kali menyebabkan benturan di internal NU. Kondisi ini tentu juga menjadi menjadi tantangan besar bagi PBNU untuk mengimplementasikan gagasan Islam Nusantara di kalangan warga Nahdliyin.
Pada dasarnya, gagasan Islam Nusantara ini juga bisa dimaknai sebagai usaha dari NU untuk merevisi dikotomi Islam tradisionalis yang selama ini masih melekat di NU. Memang hingga sekarang masih banyak di kalangan NU yang mengatakan pintu ijtihad sudah tertutup rapat. Bahkan kelompok ini seringkali menggunakan yurisprudensi Islam (fiqh) untuk melawan gagasan Islam yang toleran. Mereka beralasan harus menggunakan fiqh karena pemikiran manusia sangat terbatas dalam menafsirkan wahyu sehingga membutuhkan ulama untuk menerjemahkan kalam-kalam ilahi tersebut. Sayangnya hingga kini, fiqh yang dipilih cenderung keras dan kaku. Pada akhirnya Islam diposisikan seolah-olah sebagai agama yang keras dalam menghadapi perbedaan.
Beberapa cendekiawan NU seperti Gus Dur, KH Said Aqil, Alwi Shihab dan beberapa ulama NU lain sebenarnya sudah melakukan ijithad untuk membumikan Islam di Nusantara. Gus Dur beberapa kali menegaskan bahwa umat Islam di Indonesia harus menerapkan Islam Nusantara untuk mengakomodir budaya tanpa merusak ajaran Islam. Semua umat Islam setuju bahwa aqidah tidak mengenal perubahan namun yursprudensi atau tafsir yang berasal dari Syariah yang menyangkut hubungan antar manusia harus selalu berubah karena masyarakat mengalami perubahan dari waktu ke waktu. (Baca Ketum PBNU KH Aqil Siradj : Islam Nusantara Bukan Mazhab)
Sebenarnya, mengakomodir budaya lokal sudah lama dilakukan oleh para pemimpin Islam sejak lama. Contohnya di era Islam pertama kali masuk ke Mesir, Sahabat Amr ibn Ash r.a. mengijinkan warga Mesir untuk menerapkan hukum mereka sendiri kecuali ritual mengorbankan perempuan di Sungai Nil untuk meminta hujan. Penguasa Islam Moghul di India juga mengijinkan umat Hindu India untuk menerapkan hukum mereka sendiri kecuali ritual Sati, yakni membakar janda yang menikah lagi. Beberapa contoh tersebut menegaskan bahwa Islam diturunkan ke dunia untuk meningkatkan moralitas dan martabat manusia. (Baca Islam Nusantara Ijtihad Tatbiqi Bukan Merubah Wahyu)
Di Indonesia, ijtihad beberapa warga NU bisa dilihat dari penolakan mereka terhadap fatwa yang mengharamkan umat Islam untuk memilih presiden perempuan pada pemilu tahun 2004. Selain karena fatwa ini bertentangan dengan persamaan derajat perempuan dan laki-laki yang sudah ada di masyarakat Indonesia, fatwa tersebut juga bertentangan dengan yurisprudensi Islam. Pendapat ini didasarkan pada sejarah Perang Unta dimana Aisyah r.a. memimpin para prajurit laki-laki selama peperangan.
Di dalam kasus Minoritas Islam, warga NU masih belum sepenuhnya satu suara. Kelompok pertama adalah NU konservatif. Kelompok ini sangat keras terhadap kelompok Islam yang memiliki penafsiran berbeda. Bahkan mereka mengklaim dimensi hak beragama yang ada di instrumen hukum sekuler tidak bisa diterapkan di Indonesia yang menganut konsep negara religius. Menurut kelompok ini, mengimplementasikan hak beragama versi Barat sama halnya merusak ajaran agama. Bahkan tak segan mereka juga menuduh para cendekiawan NU yang membela minoritas Islam telah menyimpang dari ajaran NU dan bahkan Islam.
Kelompok kedua adalah NU moderat. Setelah meninggalnya Gus Dur, KH Said Aqil bisa dikategorikan sebagai pemikir moderat NU yang membela Islam minoritas. Kelompok moderat ingin menegaskan bahwa Islam harus dimaknai sebagai kata kerja, bukan kata benda yang mati, sehingga bisa menjawab perubahan jaman termasuk problem sosial dan hak asasi manusia.
Jika melihat dinamika di internal NU yang masih belum satu suara dalam beberapa hal, usaha untuk meneguhkan Islam Nusantara harus dimulai dari internal NU sendiri. Kalangan NU moderat harus bisa meyakinkan kalangan NU konservatif bahwa Islam harus mampu menjawab persoalan kemanusian termasuk perlindungan Islam minoritias. (Baca PBNU : Islam Nusantara Benteng Kaum Minoritas)
Semangat Islam Nusantara menjadi penting karena hingga sekarang pemerintah Indonesia dan mayoritas umat Islam di Indonesia masih mengedepankan monopoli suatu tafsir tertentu dalam menghadapi perbedaan didalam Islam. Konsekuensinya, tidak ada ruang bagi minoritas Islam untuk berkembang dan mendapatkan hak-hak yang sama dengan Islam minoritas. Jika mereka memaksa untuk mendapatkan hak-hak beragamanya, pemerintah atas desakan Islam mayoritas akan melarang perkembangan Islam minoritas karena hal itu dianggap bisa mengancam kerukunan beragama dan merusak ajaran Islam. (ISNU/Al-Khanif*)
  • Penulis : Al Khanif, Mahasiswa Doktoral Ilmu Hukum di School of Oriental and African Studies, University of London

Posted on 23.16 by PC ANSOR TEMANGGUNG

No comments



JAKARTA, KOMPAS - Sejak Nahdlatul Ulama menggagas Islam Nusantara sebagai tema besar dalam muktamar ke-33, mayoritas Muslim di Indonesia seperti dibangkitkan dari kesadaran terpendam bahwa praksis Islam mereka selama ini sebenarnya contoh baik dari agama rahmat semesta alam ini. Namun, praksis itu tenggelam dalam ingar-bingar wajah Islam radikal, tak ramah perbedaan, dan cenderung mengakomodasi kekerasan.

Praksis radikal itu justru lebih menonjol meski dilakukan oleh kelompok yang jauh lebih sedikit jumlahnya, tetapi lebih ekspresif setelah keran demokrasi terbuka sejak era reformasi. Ekspresi seperti ini memang terbentuk dari pertemuan dengan sentimen Islam di Timur Tengah yang jauh dari suasana damai.

Konflik Palestina dengan Israel yang belum selesai hingga sekarang, meski pada dasarnya konflik di antara dua entitas negara bangsa, tak jarang di wilayah lain dilihat sebagai konflik agama, termasuk di Indonesia. Invasi Amerika Serikat ke sejumlah negara Timur Tengah, seperti Irak dan Afganistan, pun tak lepas dari sentimen sama.

Belum lagi konflik dalam negeri yang terjadi pada negara-negara Timur Tengah, seperti Suriah dan Yaman, ikut mengobarkan sentimen konflik keagamaan yang kental di antara dua kelompok besar dalam Islam, Sunni dan Syiah.

Sebaliknya situasi Indonesia, negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, sangat jauh dari gambaran ketegangan geopolitik Timur Tengah. Islam di Indonesia yang berinteraksi ratusan tahun dengan kebudayaan lokal dan keberagaman masyarakatnya, termasuk di dalamnya fakta kemajemukan kultural, berhasil membuat agama ini jauh dari gambaran kekerasan yang terjadi setiap hari di beberapa negara Timur Tengah.

Dekan Fakultas Adab Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya, yang juga Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama, Ghazali Said menuturkan pengalaman mahasiswanya yang berasal dari Libya tentang bagaimana model keislaman di Indonesia bisa menjadi masa depan bagi dunia Islam. "Masa depan Islam itu berada di Indonesia, bukan Timur Tengah. Itu pandangan mahasiswa saya asal Libya," katanya.

Ghazali menuturkan, radikalisme dalam Islam yang masih tetap ada sekarang ini akarnya dari berakhirnya kekhalifahan Turki (Ottoman). Ketiadaan otoritas politik tunggal yang mewadahi umat Islam sedunia ini akhirnya memunculkan banyak kelompok dalam Islam. "Saya melihat radikalisme itu akarnya setelah tumbangnya kekhalifahan Turki. Ini kemudian memunculkan organisasi yang cenderung ke nation state, seperti Ikhwanul Muslimin. Itu dari faksi Sunni. Kemudian yang menjadi negara dari faksi Sunni juga, kalau orang NU menyebutnya Wahabi, meski mereka klaimnya tetap Sunni, yakni yang didirikan Raja Abdul Aziz tahun 1932 (Arab Saudi). Di Mesir ada Ikhwanul Muslimin, di Arab Saudi ada Wahabi," kata Ghazali.

Menurut Ghazali, Islam pun makin mengkristal dalam dua faksi besar, Sunni dan Syiah. Sementara berdirinya negara bangsa di Timur Tengah, seperti Arab Saudi dan Iran, juga merepresentasikan dua faksi besar Islam tersebut. Belum lagi, negara-negara itu pun mulai mengekspor pengaruh ideologi keagamaannya ke negara lain, termasuk Indonesia. Di luar perkembangan negara bangsa itu, menurut Ghazali, di Mesir ada faksi Sunni yang secara tradisional masih enggan membentuk negara bangsa sendiri, yakni Ikhwanul Muslimin. Di Ikhwanul Muslimin ada faksi-faksi lain. Berbagai faksi ini bertemu di wilayah konflik, seperti Afganistan. "Di sana orang Indonesia juga bersentuhan dan pulang membawa ideologi itu," katanya.

Di luar itu, faksi Syiah yang dipelopori Iran juga menyebarkan pengaruhnya sampai ke Indonesia. Seperti halnya Iran, Arab Saudi juga melakukan hal sama agar ideologi keislaman mereka mendapat pengaruh di sini. Beberapa di antaranya melalui lembaga pendidikan.

Namun, di sisi lain, praksis keislaman di Nusantara sejak lama justru membawa kedamaian di tengah situasi kemajemukan masyarakatnya. NU kemudian memelopori apa yang bisa ditawarkan sebagai ortodoksi baru dalam dunia Islam.

NU menyebutnya Islam Nusantara, Islam moderat dan toleran. Islam kompatibel dengan berbagai komponen ketatanegaraan modern, seperti demokrasi. Kemajemukan masyarakat tak menjadi penghalang bagi Islam untuk cocok dengan demokrasi dan malah menjadi faktor pemersatu entitas negara bangsa bernama Indonesia. Founding fathers kita mewariskannya untuk generasi sekarang.

Bandingkan dengan Timur Tengah yang relatif lebih homogen masyarakatnya, tetapi terus-menerus didera konflik. "NU ingin mengajak semua pihak untuk melihat Islam tidak hanya di Timur Tengah, di negara-negara mayoritas berpenduduk Muslim, tetapi yang sekarang sedang perang, seperti Suriah atau Irak. Atau jangan lihat Afganistan yang 100 persen penduduknya Islam, tetapi terus didera konflik. Tapi, Indonesia yang punya model Islam Nusantara, yang memberi pandangan lain pada banyak pihak, bagaimana sebenarnya, apa sesungguhnya Islam yang rahmatan lil alamin itu," kata Ketua Panitia Daerah Muktamar Ke-33 NU yang juga Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf.

"Alangkah indahnya kita kembalikan Islam sebagai nilai moral. Bagaimana mempromosikan masalah soal ekonomi dan politik yang lebih merepresentasikan keadilan dan kedamaian. Mengapa NU bisa? Bukan hanya meminimalisir dan menghabiskan radikalisme, tetapi mengontekstualisasikan Islam dengan kearifan lokal, bukan hanya sebagai simbol, tapi riil. Ini karena NU tumbuh dari masyarakat," ujar Rektor UINSA Abdul A'la.

Karakter Islam Nusantara yang moderat dan toleran ini menjadi modal penting membangun peradaban Islam global. (KHAERUDIN)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Juli 2015, di halaman 4 dengan judul "Potret Islam Nusantara".

Posted on 23.12 by PC ANSOR TEMANGGUNG

No comments

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Said Aqil Siradj.
Nahdlatul Ulama (NU) mengambil tema 'Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia' dalam Muktamar ke-33 di Jombang, Jawa Timur. Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj mengatakan, Islam Nusantara adalah wujud Islam yang santun, ramah, beradab, dan berbudaya.

"Jadi ini bukan mahdzab atau aliran tertentu, tapi khosois atau tipologi. Ciri khas islam nusantara adalah islam yang melebur dengan budaya," kata dia di Muktamar, Jombang.

Said mengatakan, Islam Nusantara adalah Islam yang tidak memusuhi ataupun memberangus budaya yang ada. Justru budaya setempat diakomodir dan dilestarikan selama tidak bertentangan dengan aturan atau syariat Islam.

Dia menambahkan, NU juga akan selalu menjaga tegaknya konstitusi dan semangat kebangsaan. Hal itu, kata Said, telah konsisten dilakukan NU sejak organisasi terbesar di Indonesia ini didirikan. Islam dan nasionalisme tidak perlu dipertentangkan. "Karena keduanya ada semangat kebangsaan," ujarnya
REPUBLIKA.CO.ID, JOMBANG -- 

Posted on 23.10 by PC ANSOR TEMANGGUNG

No comments

NU teguhkan keyakinan pada Islam Nusantara

 
Merdeka.com - Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama (NU) di Jombang, Jawa Timur, mengusung tema "Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia". Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siroj menjelaskan, Islam Nusantara bukan merupakan aliran, firqoh atau mazhab baru.

"Islam Nusantara menjadi ciri khas Islam-nya orang-orang nusantara, yaitu melebur secara harmonis dengan budaya nusantara, kearifan yang tak melanggar syari, digunakan untuk dakwah Islam di nusantara," kata Said Aqil dalam sambutannya dalam Muktamar, Sabtu (01/08) malam.

Dari Islam Nusantara itu, Said melanjutkan, diharapkan lahir Islam yang santun dan mengedepankan hati nurani bagi penganutnya, Islam yang memanusiakan manusia, cinta tanah air. "Dan inilah Islam Ahlussunnah waljamaah."

Dari situlah kemudian muncul 4 landasan yang dirumuskan oleh NU, yakni; menumbuhkan semangat religiusitas, spirit nasionalisme, kebhinekaan dan kebersamaan. Apalagi, kata Said, agama dan nasionalisme oleh pendiri NU, Kiai Hasyim Asyari merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan.

Dengan demikian, NU berpegang teguh pada konstitusi Indonesia. "Siapapun presidennya, NU di belakangnya. Dukung pemerintah bukan berarti koalisi, mengkritik bukan berarti koalisi," ujarnya
Muktamar NU. ©2015 Merdeka.com

Posted on 23.08 by PC ANSOR TEMANGGUNG

No comments

 Mustofa Bisri atau Gus Mus mengungkapkan, saat ini dunia sedang melirik Indonesia sebagai referensi keislaman, sudah tidak lagi melirik ke Islam di Timur-Tengah yang hingga kini masih terjadi banyak keributan.

“Sampean (kalian) jangan bingung, mana yang Islam mana yang bukan Islam. Sana kok membunuh orang, sini kok membunuh orang juga. Sana kok ngebom, sini kok ngebom. Itu Islam dengan sesama Islam, apa non-Islam dengan non-Islam?” ungkap Rais ‘Aam PBNU itu saat menyampaikan tausiyah di Pengajian Pitulasan Masjid Al-Aqsha Menara Kudus, kabupaten Kudus, Jawa Tengah, Ahad (12/7) malam.

Kiai yang akrab disapa Gus Mus itu merasa bingung karena kondisi Islam di Timur Tengah selama ini sebagai kiblat Islam, khususnya Saudi Arabia, tetapi kenyataannya banyak pihak yang tidak cocok dengan Saudi Arabia.

“Kacau balau, antara politik dan agama sudah campur aduk ora karu-karuan. Akhirnya terjadi di negara-negara yang penduduknya mayoritas tidak muslim timbul Islamophobia. Ketika melihat orang Islam, pada ketakutan karena takut dibunuh, takut dibom,” sindir Gus Mus.

“Pokoknya yang anti Islam semakin lama semakin meningkat gara-gara umat Islam yang tidak mencerminkan keislaman yang rahmatan lil alamin, tapi justru laknatan lil alamin,” tambah Gus Mus di hadapan ratusan hadirin.

Untuk itulah, lanjut Gus Mus, NU membuat tema muktamar tentang Islam Nusantara. “Tapi geger, kaget-kaget bagi orang yang tidak pernah ngaji. Kalau pernah ngaji pasti tahu idhofah (penyandaran) mempunyai berbagai makna, dalam arti mengetahui kata Islam yang disandarkan dengan kata Nusantara,” jelasnya.

Gus Mus mencontohkan istilah “air gelas” apakah maknanya airnya gelas, apa air yang digelas, apakah air dari gelas, apa gelas dari air. padahal bagi santri di pesantren sudah diajari untuk memahami seperti itu.

Secara sederhana, Gus Mus menjelaskan maksud Islam Nusantara yakni Islam yang ada di Indonesia dari dulu hingga sekarang yang diajarkan Walisongo. “Islam ngono iku seng digoleki wong kono (Islam seperti itu yang dicari orang sana), Islam yang damai, guyub (rukun), ora petentengan (tidak mentang-mentang), dan yang rahmatan lil ‘alamin,” terangnya.

Walisongo menurut Gus Mus, memiliki ajaran-ajaran Islam yang mereka pahami secara betul dari ajaran Kanjeng Nabi Muhammad. “Walisongo tidak hanya mengajak bil lisan, tapi juga bil hal, tidak mementingkan formalitas, tetapi inti dari ajaran Islam,” tegas Gus Mus.  (Zidni Nafi’/Fathoni)

Sumber : NU Online

Posted on 23.04 by PC ANSOR TEMANGGUNG

No comments